Add caption |
Indonesia
sebagai negara kepulauan, memiliki keanekaragaman jenis hayati yang
tinggi. Salah satu keanekaragaman yang
tinggi ditunjukkan oleh tingginya keberadaan jenis primata ( non-human
primate). Primata di seluruh dunia
tercatat sebanyak 233 jenis (Goodman et al., 1998), lebih dari 40 jenis (17,17%)
ada di Indonesia dan 30% diantaranya adalah endemik (McNeely et al.,
1990). Jumlah jenis tersebut belum
termasuk beberapa jenis yang baru
ditemukan
akhir-akhir ini seperti Tarsius lariang
(Merker & Groves, 2006) dan Tarsius wallacei (Merker et al., 2010). Endemisitas
primata yang ada di Indonesia tidak lepas dari sejarah geologi, iklim dan
evolusi bumi. Wilayah Indonesia
termasuk dalam dua
wilayah zoogeografi fauna
yaitu wilayah Oriental dan
Australia. Wilayah yang berada diantaranya
dibatasi oleh garis Wallacea dan memiliki
karakteristik fauna yang
khas, sehingga disebut dengan wilayah
Wallacea. Kondisi tersebut
dengan didukung iklim tropisnya, menyebabkan keanekaragaman flora
dan fauna Indonesia
sangat tinggi.
Bekantan (Nasalis
larvatus) adalah primata
yang termasuk dalam family Cercopithecidae, subfamili
Colobinae. Bekantan adalah
salah satu satwa dilindungi
endemik Borneo. Penyebaran alaminya hanya terbatas di Pulau Borneo yang secara
administratif meliputi tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunai
Darusalam. Bekantan berstatus satwa dilindungi baik secara nasional maupun
internasional. Secara nasional bekantan
dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah
nomor 7 tahun
1999 (Pemerintah RI, 1999a). Secara internasional bekantan termasuk
dalam Appendix I CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan
sejak tahun 2000
masuk dalam kategori
endangered species berdasarkan
Red Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources) (Meijaard et al., 2008).
Selain itu, sejak tahun 1990 bekantan ditetapkan
menjadi maskot fauna
Provinsi Kalimantan Selatan. Negara tetangga
kita Malaysia juga
melindungi satwa berekor
panjang ini melalui Wild Life
Protection Ordinance sejak tahun 1958.
Habitat bekantan banyak
mengalami kerusakan dan
populasinya mengalami penurunan. Kerusakan habitat lebih cepat terjadi
pada habitat bekantan yang berada di
tepi sungai. Hal itu dikarenakan kawasan hutan di tepi sungai
mudah dijangkau dan
dialihfungsikan menjadi areal permukiman, tambak maupun areal
pertanian. Luas kawasan yang menjadi habitat
bekantan pada awalnya
diperkirakan 29.500 km , namun,
40%
diantaranya sudah
berubah fungsi dan
hanya 4,1% saja
yang berada di kawasan
konservasi (McNeely et al.,
1990). Penyempitan dan penurunan kualitas habitat tersebut diikuti
oleh penurunan populasi bekantan. Tahun 1987 populasi bekantan diperkirakan
260.950 ekor dan sekitar 25.625 ekor diantaranya berada di kawasan konservasi
(MacKinnon, 1987). Tahun 1995 populasi bekantan menurun menjadi sekitar 114.000
ekor dan hanya sekitar
7.500 ekor
yang berada di
dalam kawasan konservasi (Bismark,
1995), sehingga dalam kurun
waktu sekitar 10
tahun terjadi penurunan
populasi sebesar 50%. Laporan
terakhir menurut Meijaard
et al. (2008)
dan Gron (2009) menyatakan bahwa penurunan populasi
bekantan berkisar antara 50- 80% selama kurun waktu 36-40 tahun terakhir.
Bekantan dan Statusnya dalam
Taksonomi
Nama
dan Klasifikasinya
Pengelompokan ordo
primata, dikenal istilah
monyet dunia lama (old world monkey) dan monyet dunia
baru (new world monkey). Penyebutan kedua kelompok primata tersebut
mengacu pada
lokasi penyebarannya secara umum.
Kelompok pertama menyebar di Asia dan Afrika, sedangkan kelompok kedua
di Amerika. Bekantan
adalah bagian dari
monyet dunia lama dari famili
Cercopitecinae dan subfamili Colobinae. Marga bekantan
adalah
Nasalis yang berasal dari hidung. Posisi
bekantan dalam klasifikasi
ordo primata dan
diantara jenis primata yang ada
di Indonesia.
Marga Nasalis hanya terdiri dari satu jenis
yaitu Nasalis larvatus van Wurmb
1781, namun beberapa
ahli menyatakan bahwa
simakobu (Simias concolor) adalah
anggota dari marga
Nasalis. Hal itu
didasarkan beberapa laporan yang
menyatakan bahwa N. larvatus mempunyai kedekatan dengan S. concolor,
berdasarkan kemiripan dan
analisis morfologi (Nowak,
1999) dan didukung dengan analisis DNA mitokondria (Whittaker, 2006). Perbedaan tingkat
genetik antara Simias
dan Nasalis berdasarkan
analisis DNA hanya 6%
sehingga tidak memenuhi
syarat untuk menjadi
marga tersendiri
Bekantan dibagi
menjadi dua subspesies,
yaitu N. larvatus larvatus Wurmb 1784 dan N. larvatus orientalis Chasen 1940, namun
nama kedua secara umum tidak
diakui oleh para
ahli (Brandon-Jones et
al., 2004; Meijaard et al., 2008).
Nama ilmiah lain (sinonim) yang pernah diberikan bagi satwa
ini adalah Cercopithecus larvatus
van Wurmb 1781,
Simia capistratus Kerr 1792,
Cercopithecus nasica Lacépéde 1799,
dan Nasalis recurvus Vigors &
Horsfield 1828 (Groves, 2001).
Bekantan
tersebar luas di seluruh Borneo yang
didiami oleh berbagai etnis dengan bahasa
yang berbeda-beda. Hal ini
menyebabkan banyak sebutan untuk
monyet berekor panjang
ini. Nama daerah tersebut diantaranya adalah
kahau (Kalimantan), bakara
(Bakumpai), bekagen, bekareng, bengkara, bengkada (Dayak Ngaju, Kutai,
Pasir, Tidung), paikah (Dayak
Manyan), pika, raseng
(Dayak Laut), dan
batangan (Pontianak). Bahasa
inggris yang digunakan untuk menyebut satwa ini di dasarkan pada ciri khusus
pada hidung jantan
yang besar dan
panjang, yaitu proboscis monkey yang
berarti monyet berbelalai. Beberapa bahasa
asing yang digunakan adalah
nasique (French), nasenaffe (German), dan mono narigudo (Spanish) (Hutchins et
al., 2003).
Morfologi
Bekantan adalah
jenis dengan ukuran
terbesar di antara subfamily Colobinae dan
termasuk sexually dimorphic yaitu
memiliki perbedaan yang jelas antara jantan dan betina. Perbedaan
tersebut baik dalam segi ukuran maupun bentuk morfologinya. Ukuran tubuh,
bentuk hidung dan ukuran gigi
taring bekantan jantan
secara signifikan lebih
besar dari betina (Hutchins et
al., 2003). Panjang badan-kepala bekantan jantan adalah 66,0-76,2 cm dengan bobot
16,022,5 kg sedangkan betina memiliki panjang
53,3-60,9 cm dengan
bobot 7,0-11,0 kg
dan panjang ekor
55,9- 76,2 cm (Nowak,
1999). Ekornya yang
panjang, sekitar setengah dari panjang kepala dan badan berfungsi
untuk menjaga keseimbangan bekantan saat bergerak atau saat diam beristirahat
di atas cabang pohon. Bekantan
juga memiliki morfologi khusus pada
hidungnya, seperti jenis leaf-monkeys lainnya di
Asia (marga Pygathrix, Rhinopithecus dan Simias), sehingga kelompok ini
disebut juga odd-nosed leaf-monkeys (Hutchins et al.,
2003). Morfologi hidung yang
khas pada bekantan yaitu pada jantan dewasa memiliki hidung yang
panjang, menonjol danmenggantung melewati
mulut, sedangkan pada
betina lebih mancung
dan kurang berkembang. Fungsi bentuk hidung pada jantan ini belum diketahui
dengan pasti. Jika merujuk
pada primata lainnya
seperti cheek pad
pada orangutan, warna perak pada punggung gorilla atau warna pipi pada
madrill, maka bentuk hidung bekantan adalah tanda dominansi pada kelompoknya. Bloom
(1999) mengibaratkan hidung pada bekantan jantan dewasa sebagai. terompet yang
berfungsi untuk mengeraskan
suaranya saat mengeluarkan suara. Suara keras
yang dihasilkan oleh
bekantan frekuensinya sangat
tinggi, yaitu antara 1,46,8 kHz. Suara ini keluar saat melakukan agresi atau
digunakan sebagai alarm
calls pada saat terjadi
bahaya yang mengancam dalam
kelompoknya (Srivathsan & Meier, 2011).
Warna rambut didominansi warna merah bata
dengan kaki dan tangan warna
abu-abu muda, dahi
merah kecoklatan gelap,
tengkuk dan pundak berbeda dengan
bagian pipi dan
leher, sedangkan wajahnya
tak berambut berwarna coklat
kemerah-merahan. Bekantan
yang
masih bayi memiliki wajah berwarna
biru gelap, kemudian
pada umur
tiga bulan memudar menjadi abu-abu
dan berangsur-angsur berwarna
seperti bekantan dewasa (Napier & Napier, 1967, 1985).
Di
antara jari-jari kaki
bekantan terdapat selaput
yang berguna pada saat
berenang atau mungkin untuk berjalan pada tanah berlumpur di areal
mangrove. Bekantan juga memiliki bantalan duduk (ischial callosities) yang keras. Bantalan duduk adalah adaptasi bekantan untuk
duduk dalam waktu lama terutama untuk
mempertahankan postur tubuhnya saat
tidur dengan posisi duduk
di cabang pohon.
Susunan gigi bekantan
sama seperti pada umumnya monyet dunia baru, kera dan
manusia yaitu terdiri dari incisors,canines, premolar,
dan molar dengan
rumus struktur gigi (Napier & Napier, 1985).
Berdasarkan
ciri organ genitalnya, bekantan jantan memiliki kelamin berwarna merah dengan
scrotum berwarna hitam. Pada betina terjadi sexual swelling berwarna
merah muda (Murai,
2006). Sexual swelling
adalah pembengkakan pada sekitar organ genital betina selama terjadi
estrus dimana pembengkakan maksimal terjadi pada saat terjadi ovulasi (Napier
& Napier, 1985).
Distribusi dan Habitat
Satwa primata
umumnya hidup di
daerah hutan hujan
tropis, yaitu diantara 23o Amerika Selatan
lebih jauh sampai
30o ke selatan
sedangkan di Asia Tenggara 30o ke
utara (Nowak, 1999).
Habitat alami bekantan
hanya dijumpai di Borneo
yang secara langsung
dilalui oleh garis
khatulistiwa. Habitat
bekantan meliputi tiga
negara yaitu Malaysia,
Brunai Darusalam, dan Indonesia.
Penyebaran di Kalimantan (Indonesia) meliputi Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Habitat bekantan bervariasi, mulai daerah
hutan pasang surut sampai dataran
tinggi, meliputi hutan
mangrove, rawa gambut,
hutan tepi sungai (Salter et al., 1985;
Matsuda et al., 2010), rawa
gambut air tawar (Yeager, 1991), dan hutan
rawa galam (Soendjoto
et al., 2006).
Dilaporkan juga bahwa bekantan
dapat hidup di
hutan Dipterocarpaceae, hutan
kerangas (Salter et al., 1985), hutan karet dan hutan bukit kapur
(karst) (Soendjoto et
al., 2006).
Selain itu bekantan juga
dijumpai hidup jauh di
daratan yang berjarak 250-300 km
dari laut, seperti di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan (Soendjoto, 2005).
Flora dan Fauna
Vegetasi pada habitat bekantan di Sungai Kuala
Samboja dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Kondisi
tersebut menyebabkan terdapat perubahan formasi vegetasi
mulai dari muara sungai menuju ke arah hulu. Jenis floranya
dicirikan oleh jenis -jenis
yang um um dijumpai
di daerah mangrove dan daerah
tepi sungai atau riparian. Daerah tepi sungai adalah habitat yang
baik untuk menunjang kehidupan berbagai
jenis fauna, termasuk sebagai
koridor perpindahan satwa.
Fauna
yang ada di
sekitar Sungai Kuala
Samboja adalah bekantan (Nasalis larvatus),
monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis), biawak (Varanus salvator), berang-berang
(Aonyx cinerea), Tupaiidae, beberapa jenis ular, bidawang (Pelochelys
sp.), Egreta sp., jenis
elang, dan jenis
burung lainnya.
Daerah muara
sungai seperti Sungai
Kuala Samboja
memiliki sumberdaya hayati perairan yang tinggi di antaranya berbagai
jenis ikan dan udang. Ikan yang sering
dijumpai di Sungai
Kuala Samboja adalah
ikan kakap (Lutjanus sp), baung (Hemibagrus spp.), Patin (Pangasius spp.), otek (Tachysurus sp.),
bulan-bulan (Megalops sp.),
adungan (Hampala sp.),
dan udang galah (Marco sp.).
Selain itu juga terdapat ikan gurame (Osphronemus gouramy) dan
nila (Oreochromis niloticus)
(Atmoko, 2010). Sungai
ini menjadi tempat
wisata pemancingan ikan yang
dikunjungi turis ( 2004,
Bismark, 2009 ).
Daftar Pustaka :
Atmoko, Tri. 2012. Bekantan Kuala Samboja bertahan dalam keterbatasan melestarikan bekantan di habitat terisolasi dan tidak dilindungi.
Atmoko, Tri. 2012. Bekantan Kuala Samboja bertahan dalam keterbatasan melestarikan bekantan di habitat terisolasi dan tidak dilindungi.
0 komentar:
Posting Komentar